Museum Cual di Bangka – Pulau Bangka sekarang dapat membanggakan museumnya yaitu Museum Cual. Pada tanggal 15 Agustus 2017, Museum Bangka Cual membuka pintunya untuk umum mengungkapkan tekstil tenunan khusus yang indah khusus untuk pulau itu. Disebut Cual, karena tekstil ini sangat dekat dengan songket tenun Palembang tetapi berbeda dalam motif, warna dan bahan yang digunakan. Resmi dibuka oleh Gubernur Bangka-Belitung, Erzaldi Rosman, Museum ini terletak di Jalan Jenderal A.Yani di Kota Pangkalpinang, Gubernur Rosman sangat menghargai pembangunan Museum oleh Isnawati Ishadi, karena berkaitan dengan bagian penting dari sejarah budaya Bangka, dan pasti akan menjadi objek wisata utama.

Pulau Bangka terletak di lepas pantai timur Sumatera Tengah, dan merupakan bagian dari provinsi Bangka-Belitung. Bangka dan Belitung saat ini mulai populer karena pantainya yang indah. Bangka dulunya adalah produsen utama timah Indonesia, tetapi sekarang telah ditutup karena permintaan dunia yang menurun. idn play

Museum Cual Bangka memiliki warna-warna cerah yang disukai oleh orang Melayu. Dan, jika Songket mengambil bunga sebagai motif utamanya, Museum Cual menampilkan banyak motif seperti bunga dan hewan seperti bebek, ubur-ubur, rusa, merak, dan banyak lagi. Sementara bahan yang digunakan dalam membuat kain yang sangat baik ini dapat dibuat dari sutra, kulit kayu hingga katun dan polyester yang lebih modern. Yang paling mahal bahkan menggunakan benang emas 18 karat. americandreamdrivein.com

Museum Cual di Bangka

Menurut sejarah, Cual atau lebih dikenal sebagai Limar Muntok pertama kali dikembangkan di kota Muntok pada awal abad ke-19, yang diprakarsai oleh kakek buyut pendiri museum Cual Ishadi saat ini.

Kain Cual biasanya ditenun oleh wanita selama waktu luang mereka. Dan karena keindahan, nilai, harga, dan kerumitan dalam pembuatannya, kain Cual digunakan terutama oleh aristokrasi, atau pada pernikahan dan selama upacara khusus.

Di Museum Cual, masyarakat akan dapat mengikuti proses rumit pewarnaan hingga menenun kain yang sudah jadi, sementara pada layar terdapat sejumlah kain Cual yang sekarang langka dibuat berusia lebih dari seabad.

Tiga pajangan yang menonjol adalah satu dengan motif yang disebut Naga Bertarung (pertarungan naga), Kembang Kecubung (bunga Datura metel atau yang populer dikenal sebagai sangkakala setan) dan Kembang China (kemerahan periwinkle), ketiganya adalah motif yang telah ditorehkan sebagai tidak berwujud warisan budaya oleh Pemerintah.

“Tenunan Cual sudah dikenal luas oleh para kolektor di seluruh dunia karena ia halus dan lembut saat disentuh dan keselarasannya menyeimbangkan sulaman benang emas atau perak, tenun ikat dan motif. Motif-motif ini tampaknya melompat keluar ketika dilihat dari jauh “kata sejarawan Bangka, Akhmad Elvian dalam konferensi pers.

Motif Fighting Dragon, yang ditenun dengan warna merah, juga menjadi ikon Museum Cual. Karena kesulitan dan kerja keras yang diminta untuk membuat kain ini, memproduksi satu potong dapat memakan waktu lebih dari 2 bulan.

Meskipun dimulai di Muntok di Bangka Barat, saat ini ada sekitar 40 studio yang memproduksi bahan ini di Pulau Bangka dan dijual kepada penikmat di Belanda, Kanada, dan Hongkong.

Hari ini, Bangka telah memperluas bandara dan berharap segera menjadi bandara internasional.

Di Museum Cual yang didirikan keluarga besar Isnawati Hadi sebagai salah satu ikon di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, wanita dengan sapaan akrab Feby Deru itu meluangkan waktu selama hampir 1 jam menyaksikan langsung proses pembuatan kain Cual.

Feby Deru menyimak dengan tekun penjelasan dan paparan tentang koleksi kain Cual yang ada di Museum itu. Beberapa motif kain Cual yang dipajang antara lain motif Naga Bertarung, Kecubung, dan Kembang China, ketiganya secara nasional telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda.

“Iya hari ini saya bersama beberapa Ibu dari OPD kita, juga para Ibu dari Bank Sumsel Babel berkunjung ke Museum Kain Cual di kota Pangkal Pinang. Pada dasarnya motif kain songket yang kita punya tidak jauh berbeda dengan kain Cual. Di Palembang ada kain Limar dan kain Blongsong, sedangkan di sini apa pun motifnya baik flora maupun fauna, tetap disebut kain Cual”, kata Feby.

Melihat dan menyaksikan kain khas dari daerah lain, dijelaskan oleh Feby Deru dapat menambah wawasan dan memberi pengalaman tersendiri terutama dalam menghargai dan menjaga kearifan lokal.

Sementara itu bagi pendiri Museum Kain Cual Isnawati Hadi, kehadiran Ketua TP PKK Sumsel merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi dirinya. “Museum ini berdiri tak lama sejak Bangka Belitung berpisah dari provinsi Sumatera Selatan. Kain Cual ini adalah identitas kami yang telah menjadi warisan budaya”, ujarnya.

Koleksi kain Cual dapat diperoleh di outlet Ishadi mulai harga Rp 65.000 hingga Rp 18 juta, sedangkan souvenir mulai harga Rp 25.000 hingga Rp 150.000.

Apresiasi dan ucapan bangga juga diungkapkan Ketua TP PKK kota Pangkal Pinang Monica Haprianda atas kunjungan yang dilakukan Feby Deru. “Terima kasih atas kedatangan Ibu Gubernur ke Museum ini. Kain Cual ini bisa dijadikan oleh-oleh khas dari kota Beribu Senyuman bagi mereka yang berkunjung ke Pangkal Pinang”, tuturnya, setibanya di kota Pangkal Pinang. Hj. Febrita Lustia Herman Deru yang merupakan Ketua TP PKK Sumsel, menyempatkan diri melihat koleksi kain khas Pangkal Pinang, tenun cual di Museum Cual Ishadi.

Di Museum Cual yang didirikan keluarga besar Isnawati Hadi sebagai salah satu ikon di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, wanita dengan sapaan akrab Feby Deru itu meluangkan waktu selama hampir 1 jam menyaksikan langsung proses pembuatan kain Cual.

Museum Cual di Bangka

Feby Deru menyimak dengan tekun penjelasan dan paparan tentang koleksi kain Cual yang ada di Museum itu. Beberapa motif kain Cual yang dipajang antara lain motif Naga Bertarung, Kecubung, dan Kembang China, ketiganya secara nasional telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda.

“Iya hari ini saya bersama beberapa Ibu dari OPD kita, juga para Ibu dari Bank Sumsel Babel berkunjung ke Museum Kain Cual di kota Pangkal Pinang. Pada dasarnya motif kain songket yang kita punya tidak jauh berbeda dengan kain Cual. Di Palembang ada kain Limar dan kain Blongsong, sedangkan di sini apa pun motifnya baik flora maupun fauna, tetap disebut kain Cual,” kata Feby.

Melihat dan menyaksikan kain khas dari daerah lain, dijelaskan Feby Deru dapat menambah wawasan dan memberi pengalaman tersendiri terutama dalam menghargai dan menjaga kearifan lokal.

Apresiasi dan ucapan bangga juga diungkapkan Ketua TP PKK Kota Pangkal Pinang Monica Haprianda atas kunjungan yang dilakukan Feby Deru.

“Terima kasih atas kedatangan Ibu Gubernur ke Museum ini. Kain Cual ini bisa dijadikan oleh-oleh khas dari kota Beribu Senyuman bagi mereka yang berkunjung ke Pangkal Pinang,” tutur Ketua TP PKK Kota Pangkal Pinang Monica Haprianda.